Minggu, 09 Desember 2012


Seminar Nasional dan Sosialisasi Membangun Budaya Digital di Perguruan Tinggi

Rabu, 05 Desember 2012 13:42 WIB


Prof. Dr. Musa Asyarie membuka seminar dengan Gong Digital

(3/12/2012) Pusat Komputer dan Sistem Informatika (PKSI) UIN Sunan Kalijaga adakan Seminar nasional dengan tema "Digital Lifestyle Experience for Higher Education". Acara  ini diadakan digedung Convention Hall dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, karyawan dan masyarakat umum. Seminar ini dibuka langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy'arie dengan Gong Digital. Menurut Agung Fatmanto, Ph.D., kegiatan ini diadakan sebagai komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam mewudkan kampus digital dan sebagai upaya membangun budaya  digital di perguruan tinggi. “ Di era globalisassi saat ini, perguruan tinggi harus memaksimalkan pengunaan tekhnologi digital, mengingat perkembangan arus informasi yang begitu pesatnya, hal ini sebagai imbas dari kemajuan dunia digital yang terjadi saat ini. Penerapan teknologi digital juga harus dibarengi dengan peningkatan pengetahuan teknologi komputerisasi bagi seluruh civitas kampus, baik dosen, pegawai dan mahasiswanya, agar menjadi sinergisitas”, tutur Agung Fatmanto yang juga dosen pada Fakultas Sains dan Teknologi. Dalam seminar ini menghadirkan Ryan Fabella (Client Software Architec IBM), Pepita Gunawan (Indonesian Google Southeast Asia dan Agung Fatmanto, Ph.D. sebagai pembicara.
Dalam sambutannya Musa Asyarie menyampaikan bahwa, UIN Sunan Kalijaga akan senantiasa mengembangkan kampus menuju kampus digital, karena, dengan penerapan teknologi digital, semua akses informasi akan menjadi mudah. Perkembangan teknologi yang begitu pesat seharusnya kita manfaatkan dan direspons secara positif, jangan sampe dengan perkembangan itu kita malah menjadi keblinger. “ Saat ini kita sudah dikuasai oleh dunia ‘kotak’, karena sebagian besar alat teknologi yang kita gunakan berbentuk kotak, PC, Monitor, PC Tablet, HP, Laptop semuanya berbentuk kotak. Melihat hal ini, kita jangan sampai dikotak-kotakkan oleh barang ‘kotak’ ini. Karena dengan barang ‘kotak’ ini individualisme akan semakin meningkat, untuk itu filter dalam penggunaan teknologi di era digital ini sangat penting”, tutur Musa.
“ Dalam acara ini juga dihadiri oleh delegasi PTAIN se-Indonesia dan delegasi pusat komputer Perguruan Tinggi dan civitas Mahasiswa se-DIY ”, tambah Agung. *(Doni Tri W-Humas UIN Suka)


Bangunkan Mereka

Akhirnya, setelah seharian menempa otak yang telah lama tak terpakai ini cukup melelahkan. Susah-susah gampang tiap ucapan dosen diterjemahkan pikiranku yang tumpul dan harus mulai diasah kembali.
Aku langkahkan kaki keluar kelas dan aku rasakan hembusan angina segar alami melebihi dinginnya ruang kelasku yang berkipas. Langkahku gontai, darahku beranjak naik setelah seharian duduk di bangku kuliah. Ditambah kondisi tubuh yang agak lemah seharian menahan lapar karena puasa.
Aku tapak turuni tiap anak tangga satu persatu. Tiga, dua, satu, sampailah aku di lantai terbawah, lantai dasar. Ya, ruang kuliahku terletak tepat di lantai tertinggi Universitas ini, lantai empat. Seringkali aku keluhkan hal itu, namun aku coba untuk berhusnudzan kepada Allah, mungkin dengan letak kelasku yang tinggi ini aku akan dapatkan segala keinginan hati yang ingin menggapai cita-cita yang setinggi langit.
Terus berjalan kakiku ke tempat sepeda tuaku yang sejak tadi telah menunggu di tempat parker bersiap aku kayuh kembali pulang. Tapi sial, bannya kempes. Hah……. rasa kecewa segera menyelimuti fikiranku, segala prasangka aku arahkan pada anak-anak yang memang sering bermain di parkiran telah sengaja mengempeskan ban sepedaku. Namun, separuh diriku menepis segala prasangka buruk itu, mungkin Allah tengah benar-benar menguji kesabaranku.
Teras berat langkahku, ditambah beban sepedaku yang kempes bannya. Hmmm….. coba aku nikmati beban itu semua, aku nikmati pula matahari yang kian merendah bersiap kembali ke peraduannya, terlihat cantik, hingga sengatannya pun kini tinggal terasa hangat. Suara bising mobil, motor yang berlalu-lalang lengkap memenuhi ceritaku sore ini. Tak lupa ditambah lagi debu dan asap knalpot yang mengepul karena kemeriahan kemacetan jalanan kota ini. Kota yang tiap pagi dan sore bak karnaval menyambut hari kemerdekaan, lengkap dengan terompet-terompet klaksonnya. Hiruk pikuk khas perkotaan sungguh terasa begitu kental, didalamnya berjuta orang berbagai macam suku dan bangsa diaduk menjadi satu.
Terlihat beberapa orang tengah mempersiapkan bahan dagangan di pinggir jalan yang didomminasi para pedagang makanan dan minuman khas malam. Memang cukup banyak warung kecil yang berbaris berjejer menyertai panjangnya jalan trotoar. Mencari rezeqi memang takkan pernah mengenal waktu, ada sebagian masyarakat memang memperoleh nafkah pada saat-saat langit telah berubah menjadi warna hitam yang pekat.
Namun satu perhatian yang aneh melintas tergambar oleh lensa mataku, seorang yang sedang berkubang di tempat sampah bersama anaknya yang mungkin berumur hanya sekitar 5 tahunan. Satu pertanyaan yang kemudian tunbuh dalam benakku. Apakah yang dilakukan orang itu di tempat pembuangan sampah di hari yang menjelang malam ini? Apakah ia seorang pemulung? Bukan, ia tak membawa satupun barang-barang pulungan. Apakah ia seorang petugas kebersihan? Bukan, ia tak mengenakan seragam. Aku hentikan lajuku, tuk melihat pemandangan yang begitu aneh ini. Lama aku amati hingga mataharipun kini telah benar-benar jatuh di ujung barat.
Aku temangu melihat dua manusia yang mungkin tengah terpasung rasa lapar dan kini sedang mengais-ngais makanan-makanan sisa. Namun ironisnya, diatas sana, di singgasana tempat para pemegang amanat para rakyat, yang dahulu berkampanye mengumbar sumpah serapah, janji-janji manis, mungkin telah menghabiskan berkuintal gula untuk mempermanis bibir jongosnya, pastilah kini meteka sedang berpesta pora, menimbun bermilyar hak rakyat untuk memenuhi segala kebutuhan pribadinya, menari riang diatas segala kesengsaraan rakyat, segala macam merk mobil berjejer di rumah-rumah gedong mereka, berbagai macam pendapat usulan janji perbaikan tak lain tak bukan pastilah  mereka akan mulai membuka lagi lahan untuk berkorupsi ria, berfoya-foya dengan keringat rakyat yang telah menaruh harapan padanya.
Sungguh tak sadarkah mereka, yang dipilih bukan melalui lotre, mereka adalah wakil-wakil yang ditunjuk oleh rakyat sebagai perantara aspirasinya. Cerdiknya mereka, tidur saat pembahasan sidang berkaitan dengan masalah rakyat. Menutup telinga dan hati saat berjuta rakyat berteriak-teriak perjuangkan keadilah, dan begitu bersemangat saat ada kembali lahan tempat berkorup lagi.
*****
Sayup-sayup adzan maghrib berkumandang, menyadarkan alamku yang sedang melalang buana ke gedung DPR. Aku tetap termangu menatap dua manusia itu, yang kini duduk berkipas-kipas kecapaian. Aku datangilah mereka, aku coba tawarkan sebotol air yang aku bawa dari rumah tadi pagi bila hingga maghrib aku belum tiba. Deterimalah botolku itu dengan sesungging senyum yang terkembang disudut bibir kering ibu tua itu. Kemudian ia sodorkan botol minum itu pada anaknya, dengan segera anak itu meminumnya, tampak tergesa-gesa ia mulai menelan tiap tetes air yang keluar daru mulut botol itu. Huuuh….. betapa tersayatnya hati ini saat mengingat lagi ironi yang terjadi di negeri ini, yang katanya gemah ripah loh jinawi, namun setetes airpun sangatlah berharga bagi orang-orang semacam ibu anak ini, mereka bak seekor ayam yang mati ditengah lumbung padi, kelaparan di negeri yang subur kaya raya ini. Maka sungguh benarlah apa yang telah aku pelajari tiap hari di kampus, orang miskin dan terlantar dipelihara oleh Negara, iya, benar sekali, mereka tetap dipelihara kemiskinan dan keterlantarannya.
Aku teringat beberapa lembar uang ribuan yang aku siapkan utnuk berbuka hari ini. Sebagian hatiku telah setuju untuk memberikan uang itu untuk dua manusia terlantar ini, namun disisi lain, tangan kiriku berat mengulurkan sedikit kebaikannya, segala macam pikiran berkecamuk, bertentangan hingga sampai membuat kepalaku pening. Bila uang ini aku simpan, maka mungkin pahala yang aku dapat hanya bernilai satu kebaikan, tapi bila uang ini aku berikan, aku takut uang bulanan yang telah aku estimasikan menjadi kacau tak beraturan. Akhirnya kuputuskan untuk membeli dua bungkus nasi ukuran kecil, lengkap dengan dua gorengannya. Ya, memang itulah uang harianku sebagai mahasiswa yang boleh dibilang juga kurang mampu dan sangat begitu beruntung dapat kuliah di Universitas yang termasuk favorit. Hanya itulah yang dapat aku berikan pada mereka. Sempat si ibu menolak pemberianku itu, dengan berucap, “kamu nanti makan apa kalau ini kamu berikan kepada ibu ?”, dengan tersenyum aku menjawab, “ini memang rizqi buat ibu hari ini, insya Allah, Allah telah menyiapkan rizqi yang lain bagi saya”, lantas dibalasnya, “terimakasih nak ya !!” aku tersenyum kembali sembari menganggukkan kepala. Ku lihat adik kecil itu makan dengan lahapnya, hingga bersih hanya tertinggal bungkus kertasnya. Lanjutnya, ia meminum sisa air yang masih tersisa seperempat di botol minum tadi.
Basa-basi aku bertanya pada ibu itu, “ibu tinggal dimana ?”
“ibu tidak punya rumah nak, ya…. di jalanan inilah rumah ibu”
“emmm……”
Tak kuasa lagi aku ajukan pertanyaan, aku takut air mataku nanti akan tertumpah, dan membuat ibu itu nanti malah terjerembab dalam tangis haru yang membiru.
Akupun bangkit dari posisi dudukku ingin berpamitan pulang. “bu, saya mohon pamit dulu, semoga esok hari saya bisa bertemu ibu dan adek lagi”
“iya, terimakasih sekali lagi ya nak”
“iya bu, sama-sama, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam”
Tibalah aku tepat di depan pintu kost paling murah yang ditunjukkan Allah padaku. Tak lupa aku lepas sepatu dan ranselku dan kuletakkan pada tempat yang layaknya pantas. Kubasuh kedua tangan dan kakiku yang penuh dengan debu jalanan. Dan kemudian kubasuh seluruh anggota badan rukun wudlu dengan air. Lalu aku siap berdiri diatas sajadah yang telah kubentangkan.
“Allahu akbar !”
Aku terbius dalam sujud akhir terpanjang, dan kuucap doa, “Ya Allah, bukalah pintu mata hati para pejabat yang menanggung beban amanat rakyat. Sadarkan mereka dari tidur panjang dalam gelapnya lembah kenistaan duniawi, Amiin.
Add caption


110


1
Segala ciptaan semesta alam raya,
Allah tuhan yang kuasa sebagai pencipta
Tuhan penguasa atas segalanya
Untuk mengatur berbagai macam hidup


2
Dawai senar kehidupan yang bergetar
Untaian nada indah yang fals
Allahlah sang maha pengatur


3
Tiupan angin yang mendesah
Indah terasa diarti oleh kulit
Gantung semua layang-layang kehidupan
Allahlah sang maha pemberi segala


4
Elok nian mentari yang tengah mengintip dunia
Menampakkan cahaya kehangatan
Pada tiap insan yang masih sibuk dalam buaian mimpi
Allahlah satu-satunya
Tuhan tempat kita mewujudkan mimpi itu


5
Lantunan deburan ombak menghantam karang
Iringi tiap langkah kecil yang berjalan menapak garis pantai
Meninggalkan bekas telapak yang telah terobati dari rasa gundah
Allahlah tuhan pemberi segala rasa ketenangan, ketenteraman

 
6
Elakan anak panah yang telah terlepas dari busur yang lurus
Nantipun dapat berbelok arah karena
Allahlah,
Maha pengatur semua

 
7
Tanda-tanda yang telah nampak
Utuhkan segala hal kemungkinan
Jauhkan dari rasa keraguan
Ulah siapa ?
Hanya Allahlah maha pemberi kepastian


8
Dalam lautan dalam yang gelap tak bercahaya
Endapan tiap mahluk yang telah berumur
Lumpurlah hasil leburan yang berguna daya tiada tara
Andai manusia telah tahu hal itu
Pasti niscaya habislah ia(lumpur) karena
Allah sungguh tak pernah menciptakan hal yang tak ada guna
Nanti tinggal manusia yang harus terus berfikir atas itu


9
Setiap tawa dalam tiap tangisan
Energi dalam tiap keputusasaan
Malam yang sejuk tiap siang yang membakar
Bulan atas penghias gelap malam
Islam yang terang saat jahiliyah yang gelap
Lilin yang bersinar saat gelap yang melenyapkan
Angin yang berhembus tiap ada hati yang kian resah
Nyatalah Allah Maha segalanya


10
Sampai ujung akhir nafas ini berhembus
Esalah satu Tuhanku
Pada saat nyawa pada ujungnya
Untuk Allahlah semua akan kuserahkan
Laa ilaaha ilallah
Ucapkan saat ajal kian berada tepat atas ubun-ubun
Hati ini, jiwa ini, pantaslah hanya pada kuasa-Nya.