Bangunkan Mereka
Akhirnya, setelah seharian menempa otak yang telah lama tak
terpakai ini cukup melelahkan. Susah-susah gampang tiap ucapan dosen
diterjemahkan pikiranku yang tumpul dan harus mulai diasah kembali.
Aku langkahkan kaki keluar kelas dan aku rasakan hembusan angina
segar alami melebihi dinginnya ruang kelasku yang berkipas. Langkahku gontai,
darahku beranjak naik setelah seharian duduk di bangku kuliah. Ditambah kondisi
tubuh yang agak lemah seharian menahan lapar karena puasa.
Aku tapak turuni tiap anak tangga satu persatu. Tiga, dua, satu,
sampailah aku di lantai terbawah, lantai dasar. Ya, ruang kuliahku terletak
tepat di lantai tertinggi Universitas ini, lantai empat. Seringkali aku
keluhkan hal itu, namun aku coba untuk berhusnudzan kepada Allah, mungkin
dengan letak kelasku yang tinggi ini aku akan dapatkan segala keinginan hati
yang ingin menggapai cita-cita yang setinggi langit.
Terus berjalan kakiku ke tempat sepeda tuaku yang sejak tadi telah
menunggu di tempat parker bersiap aku kayuh kembali pulang. Tapi sial, bannya
kempes. Hah……. rasa kecewa segera menyelimuti fikiranku, segala prasangka aku
arahkan pada anak-anak yang memang sering bermain di parkiran telah sengaja
mengempeskan ban sepedaku. Namun, separuh diriku menepis segala prasangka buruk
itu, mungkin Allah tengah benar-benar menguji kesabaranku.
Teras berat langkahku, ditambah beban sepedaku yang kempes bannya.
Hmmm….. coba aku nikmati beban itu semua, aku nikmati pula matahari yang kian
merendah bersiap kembali ke peraduannya, terlihat cantik, hingga sengatannya
pun kini tinggal terasa hangat. Suara bising mobil, motor yang berlalu-lalang
lengkap memenuhi ceritaku sore ini. Tak lupa ditambah lagi debu dan asap
knalpot yang mengepul karena kemeriahan kemacetan jalanan kota ini. Kota yang
tiap pagi dan sore bak karnaval menyambut hari kemerdekaan, lengkap dengan
terompet-terompet klaksonnya. Hiruk pikuk khas perkotaan sungguh terasa begitu
kental, didalamnya berjuta orang berbagai macam suku dan bangsa diaduk menjadi
satu.
Terlihat beberapa orang tengah mempersiapkan bahan dagangan di
pinggir jalan yang didomminasi para pedagang makanan dan minuman khas malam.
Memang cukup banyak warung kecil yang berbaris berjejer menyertai panjangnya
jalan trotoar. Mencari rezeqi memang takkan pernah mengenal waktu, ada sebagian
masyarakat memang memperoleh nafkah pada saat-saat langit telah berubah menjadi
warna hitam yang pekat.
Namun satu perhatian yang aneh melintas tergambar oleh lensa
mataku, seorang yang sedang berkubang di tempat sampah bersama anaknya yang
mungkin berumur hanya sekitar 5 tahunan. Satu pertanyaan yang kemudian tunbuh
dalam benakku. Apakah yang dilakukan orang itu di tempat pembuangan sampah di
hari yang menjelang malam ini? Apakah ia seorang pemulung? Bukan, ia tak
membawa satupun barang-barang pulungan. Apakah ia seorang petugas kebersihan?
Bukan, ia tak mengenakan seragam. Aku hentikan lajuku, tuk melihat pemandangan
yang begitu aneh ini. Lama aku amati hingga mataharipun kini telah benar-benar
jatuh di ujung barat.
Aku temangu melihat dua manusia yang mungkin tengah terpasung rasa
lapar dan kini sedang mengais-ngais makanan-makanan sisa. Namun ironisnya,
diatas sana, di singgasana tempat para pemegang amanat para rakyat, yang dahulu
berkampanye mengumbar sumpah serapah, janji-janji manis, mungkin telah
menghabiskan berkuintal gula untuk mempermanis bibir jongosnya, pastilah kini
meteka sedang berpesta pora, menimbun bermilyar hak rakyat untuk memenuhi
segala kebutuhan pribadinya, menari riang diatas segala kesengsaraan rakyat,
segala macam merk mobil berjejer di rumah-rumah gedong mereka, berbagai
macam pendapat usulan janji perbaikan tak lain tak bukan pastilah mereka akan mulai membuka lagi lahan untuk
berkorupsi ria, berfoya-foya dengan keringat rakyat yang telah menaruh harapan
padanya.
Sungguh tak sadarkah mereka, yang dipilih bukan melalui lotre,
mereka adalah wakil-wakil yang ditunjuk oleh rakyat sebagai perantara
aspirasinya. Cerdiknya mereka, tidur saat pembahasan sidang berkaitan dengan
masalah rakyat. Menutup telinga dan hati saat berjuta rakyat berteriak-teriak
perjuangkan keadilah, dan begitu bersemangat saat ada kembali lahan tempat
berkorup lagi.
*****
Sayup-sayup adzan maghrib berkumandang, menyadarkan alamku yang
sedang melalang buana ke gedung DPR. Aku tetap termangu menatap dua manusia
itu, yang kini duduk berkipas-kipas kecapaian. Aku datangilah mereka, aku coba
tawarkan sebotol air yang aku bawa dari rumah tadi pagi bila hingga maghrib aku
belum tiba. Deterimalah botolku itu dengan sesungging senyum yang terkembang
disudut bibir kering ibu tua itu. Kemudian ia sodorkan botol minum itu pada
anaknya, dengan segera anak itu meminumnya, tampak tergesa-gesa ia mulai
menelan tiap tetes air yang keluar daru mulut botol itu. Huuuh….. betapa
tersayatnya hati ini saat mengingat lagi ironi yang terjadi di negeri ini, yang
katanya gemah ripah loh jinawi, namun setetes airpun sangatlah berharga
bagi orang-orang semacam ibu anak ini, mereka bak seekor ayam yang mati
ditengah lumbung padi, kelaparan di negeri yang subur kaya raya ini. Maka
sungguh benarlah apa yang telah aku pelajari tiap hari di kampus, orang miskin
dan terlantar dipelihara oleh Negara, iya, benar sekali, mereka tetap
dipelihara kemiskinan dan keterlantarannya.
Aku teringat beberapa lembar uang ribuan yang aku siapkan utnuk
berbuka hari ini. Sebagian hatiku telah setuju untuk memberikan uang itu untuk
dua manusia terlantar ini, namun disisi lain, tangan kiriku berat mengulurkan
sedikit kebaikannya, segala macam pikiran berkecamuk, bertentangan hingga sampai
membuat kepalaku pening. Bila uang ini aku simpan, maka mungkin pahala yang aku
dapat hanya bernilai satu kebaikan, tapi bila uang ini aku berikan, aku takut
uang bulanan yang telah aku estimasikan menjadi kacau tak beraturan. Akhirnya
kuputuskan untuk membeli dua bungkus nasi ukuran kecil, lengkap dengan dua
gorengannya. Ya, memang itulah uang harianku sebagai mahasiswa yang boleh
dibilang juga kurang mampu dan sangat begitu beruntung dapat kuliah di
Universitas yang termasuk favorit. Hanya itulah yang dapat aku berikan pada
mereka. Sempat si ibu menolak pemberianku itu, dengan berucap, “kamu nanti
makan apa kalau ini kamu berikan kepada ibu ?”, dengan tersenyum aku menjawab,
“ini memang rizqi buat ibu hari ini, insya Allah, Allah telah menyiapkan rizqi yang
lain bagi saya”, lantas dibalasnya, “terimakasih nak ya !!” aku tersenyum
kembali sembari menganggukkan kepala. Ku lihat adik kecil itu makan dengan
lahapnya, hingga bersih hanya tertinggal bungkus kertasnya. Lanjutnya, ia
meminum sisa air yang masih tersisa seperempat di botol minum tadi.
Basa-basi aku bertanya pada ibu itu, “ibu tinggal dimana ?”
“ibu tidak punya rumah nak, ya…. di jalanan inilah rumah ibu”
“emmm……”
Tak kuasa lagi aku ajukan pertanyaan, aku takut air mataku nanti
akan tertumpah, dan membuat ibu itu nanti malah terjerembab dalam tangis haru
yang membiru.
Akupun bangkit dari posisi dudukku ingin berpamitan pulang. “bu,
saya mohon pamit dulu, semoga esok hari saya bisa bertemu ibu dan adek lagi”
“iya, terimakasih sekali lagi ya nak”
“iya bu, sama-sama, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam”
Tibalah aku tepat di depan pintu kost paling murah yang ditunjukkan
Allah padaku. Tak lupa aku lepas sepatu dan ranselku dan kuletakkan pada tempat
yang layaknya pantas. Kubasuh kedua tangan dan kakiku yang penuh dengan debu
jalanan. Dan kemudian kubasuh seluruh anggota badan rukun wudlu dengan air.
Lalu aku siap berdiri diatas sajadah yang telah kubentangkan.
“Allahu akbar !”
Aku terbius dalam sujud akhir terpanjang, dan kuucap doa, “Ya
Allah, bukalah pintu mata hati para pejabat yang menanggung beban amanat
rakyat. Sadarkan mereka dari tidur panjang dalam gelapnya lembah kenistaan
duniawi, Amiin.
 |
Add caption |