Minggu, 28 April 2013


Padam

Hampir genap satu bulan, mata ini terus mencari
Mata ini telah gelap, tak ada satupun sinar yang bisa merasuk
Remang, dan sama sekali takkan tembus secercah cahayapun bisa merangsak masuk
Kemana sinar yang beberapa pekan yang lalu masih sering muncul tuk memberikan cahaya yang teduh menentramkan jiwa ini
Rasanya hati ini mencari serpihan yang pecah dan lenyap entah terbawa angin kemana,
Mungkinkah serpihannya telah terbawa uap-uap dari tanah ini dan ikut bertengger di atas awan sana,
Ataukah telah terbawa air samudra yang semakin ganas yang sombong menunjukkan geloranya menerjang karang
Benar,
Sungguh hati ini telah tercekik kehausan
Dahaga telah benar-benar memutuskan urat logika warasku
Otakku diperah untuk mengeluarkan tetes-tetes yang hampa
Nafasku semakin memburu terengah oleh jantung yang semakin membawa tempo yang memacu adrenalin
Darah mulai tak terarah membawa hidup tanpa pegangan tersesat tak benar arah lajunya
Ketidakhadirannya membuat otot riolin1 tak berhenti mencari dimana lentera yang entah padam entah menghilang
Pikiranku penuh bekat2 tentang lautan yang tak lagi terasa asin
Dan pada akhirnya mulai bermunculan rasa takut bayang-bayang3
Atas dasar alasan apa aku harus takut kehilangan siapa yang bukan siapa bagiku
Entah, begitulah mungkin hal yang bisa aku ikat dalam kebingungan yang tak terbantahkan rasanya
Hahaha..., keruan saja, hati ini takkan mampu lagi berdusta tentang candu yang butek
Dan dipaksa untuk benar-benar jujur tentang makna kehilangan.

En Zarif Aylarca
Yogyakarta, 28 April 2013

1Bagian otot lingkar mata yang serabutnya tersebar sampai ke tepi pelupuk mata
2Penuh sesak
3Perasaan takut tanpa alasan

Sabtu, 27 April 2013


Kirana

Saat yang lain aku coba berpaling melupakan semua hal yang membuatku gusar
Aku mencoba mencari pelabuhan yang mungkin bisa membuatku menyandarkan kapal yang kebingungan
Entah itu bingung menentukan tempat tuk bertambat
Entah itu bingung menetukan bagaimana menambatkan perahu amarah ini
Aku, nahkoda kapalpun tak tau kebingungan apa yang sedang aku alami untuk bahteraku
Benar aku ingin merasan1kan perasaan ini, aku risau hidup dengan rasa yang tak jelas ini
Dan saat itulah, aku menemukan Kirana
Membuka semua tabir yang gelap tak bercahaya, gelap tanpa lentera
Benderang tanpa ada bercak sekecil partikelpun mampu bertengger didepan gemerlapnya
Bagian ruang mana yang masih sanggup mengirap2 kuatnya arus cahaya tanpa ampun
Hatiku seakan mengalami deklinasi3 saat harus berhadapan dengan makhluk sempurna ini
Sebenarnya hatiku telah terpilin, terlekuk, tersujud dari parasnya nan meneduhkan
Dan aku rasa hati ini semakin mendekat ingin berlabuh, menambatkan jangkar hanya kepada engkau Kirana

En Zarif Aylarca
Yogyakarta, 14 April 2013
1Basi; busuk
2menangkis-nangkis(perisai) keatas dan kebawah
3Perubahan kearah yang lebih kecil, lemah atau rendah
-->
Dosa Tak Terjamah

Detik ini semakin mendekat dari apa yang ada dalam angan lapukku
Segera membawa semua rasa itu bangkit kembali tanpa ampun menghujam semua yang ada pada arahnya
Rasanya, rasa itu tersenyum kambing1 melihat kekalahanku tak mampu menghadang terjangannya
Rasa yang sungguh kejam saat ia benar telak mengalahkanku
Aku sungguh tak bisa menghindarinya, melangkah menjauhpun aku tak mampu
Kirana, apahal yang membuatku tak bisa memalingkan pandangan ini terlepas dari mendamba padamu
Cahaya itu datang dari semua yang kau tampakkan padaku, rasanya cantiknya seorang putripun tak berbanding dengan keteduhan ayu wajahmu
Sepertinya hal ini membuatku terpincut berkali-kali tiap melihat sinar yang terpancar itu darimu
Bahkan aku bisa jatuh berkali-kali dalam sehari itupun karena sinar yang kau panacarkan sungguhlah buas tak dapat aku taklukkan
Rasa apa yang begitu kejam menghujaniku beban yang begitu beratnya
Namun tiap kali terngiang dawai nyanyian tentang dirimu aku merasa berdosa
Entah atas apa, entah kepada siapa
Akupun masih tak mampu memecahkannya atas isyarat itu
Mungkin para iblis berkehendak memantraiku dengan rayuan mereka
Mungkin aku yang terlalu naif menanggapi tipu muslihat hatiku sendiri
Namun itu hanya spekulasi, logika sungguh terlalu kaku untuk bisa memahami hal yang seperti ini, rumit
En Zarif Aylarca
Yogyakarta, 16 April 2013
1Tersenyum mencemooh

Minggu, 14 April 2013


Terlalu Membara


Kali ini aku coba buat kesepakatan dengan para dedaunan yang terus bergemerisik bermain dengan angin
Aku ingin para dedaunan itu diam untuk sejenak mendengarkan semua yang akan aku ceritakan pada mereka tentangnya
Sejenak mereka hanya diam tak menunjukkan rasa simpati sepotongpun
Selanjutnya mereka melanjutkan candanya dengan angin yang semilir, bergemeresik lagi
Aku mencari lagi sesuatu yang bisa aku ajak untuk mendengarkan cerita hatiku
Aku temui para burung yang tengah menyanyi pada ranting-ranting pohon yang ringkih namun tegar
Lagi-lagi, mereka diam sejenak, memperhatikan ceritaku tanpa ada ketertarikan
Sejurus kemudian mereka malah terbang meninggalkan aku yang masih berceloteh tanpa pendengar
Saat aku diam, aku terhentak, terperanjak, tersingahak1, terkejut. Mereka benar tak mau tau
Sungguh entah siapa lagi yang bersedia menjadi pelampiasan rasa yang aku pendam ini
Mungkin semua orang takkan pernah mau, karena merekapun boleh saja mempunyai masalah yang lebih komplek dariku
Mungkin hanya satu yang akn sungguh bersedia mendengarkan semua ocehanku yang tak bernilai
Namun seringkali aku tidak percaya, karena aku kurang sabar menanti kesimpulan yang Ia akan berikan
Terkadang aku lebih percaya bermain dengan prosa untuk berbicara
Aku lebih suka yang mati tak berkuasa yang mendengarkan jeritan linglungnya rasa yang aku miliki
Bahkan terkadang hati ini serasa ingin menjerit kebingungan tentang apalagi yang harus dilakukan dengan perasaan yang semakin membara tak karuan
Hati ini bahkan menjadi baran2 terpancing emosi yang lebih sering memuncak tanpa batas ingin dibebaskan
Maafkan aku, aku tak bisa jujur atas perasaan hati ini
Bahkan pada hatiku sendiri sekalipun aku berdusta
Arus ini terlalu membawaku terlarut dalam tepian yang berbahaya, rawan




En Zarif Aylarca
Yogyakarta, 14 April 2013
1Terperanjat; terkejut
2Sangat pemarah; lekas marah

Sabtu, 13 April 2013


Rinduku

Serunai bunyi seruling mengiang lembut merambat menjamah seluruh tubuhku
Membawa suasana yang berbeda saat gemerlap lembayung senja menemukan alurnya
Menuju di keheningan malam yang siap memelukku hangat
Meraba-raba rasa yang lama aku pendam itu lagi
Tetap masih tertahan oleh penantian
Tak tau penantian tentang apa
Hati inipun masih gamang, masih ragu
Namun aku hanya bisa mendudu1
Benarkah rasa itu sungguh hadir?
Benarkah rasa itu memang ada?
Rasa ini sungguh dubius2
Sebuah keraguan yang sungguh tak bisa aku mengerti hingga hati ini masih tetap bertahan dan menanti
Lancang rasa itu hadir merasuk menerjang perawannya hati yang dulu tak berpenghuni
Sekian macam jenis rupa ternyata yang satu ini sungguh tak berbanding dalam hatinya
Dia yang kini mencabik hatiku tuk selalu merindunya
Dimana, kapan, bagaimana
Keraguan itu sering terjawab namun itu hanya di hatiku
Tak pernah hati ini mau jujur pada hatinya sendiri
Terkadangpun hanya selempangan rindu hadir tanpa dasar
Apa hal yang membuat hati ini tetap tak mau lalai mengingatnya
Sore ini aku tutup lembaran dengan nyanyian rindu tentang kamu


En Zarif Aylarca
Yogyakarta, 13 April 2013
1Berjalan(berlari, berengang, dsb) mengikuti dari belakang
2Bersifat ragu-ragu

Minggu, 09 Desember 2012


Seminar Nasional dan Sosialisasi Membangun Budaya Digital di Perguruan Tinggi

Rabu, 05 Desember 2012 13:42 WIB


Prof. Dr. Musa Asyarie membuka seminar dengan Gong Digital

(3/12/2012) Pusat Komputer dan Sistem Informatika (PKSI) UIN Sunan Kalijaga adakan Seminar nasional dengan tema "Digital Lifestyle Experience for Higher Education". Acara  ini diadakan digedung Convention Hall dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, karyawan dan masyarakat umum. Seminar ini dibuka langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy'arie dengan Gong Digital. Menurut Agung Fatmanto, Ph.D., kegiatan ini diadakan sebagai komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam mewudkan kampus digital dan sebagai upaya membangun budaya  digital di perguruan tinggi. “ Di era globalisassi saat ini, perguruan tinggi harus memaksimalkan pengunaan tekhnologi digital, mengingat perkembangan arus informasi yang begitu pesatnya, hal ini sebagai imbas dari kemajuan dunia digital yang terjadi saat ini. Penerapan teknologi digital juga harus dibarengi dengan peningkatan pengetahuan teknologi komputerisasi bagi seluruh civitas kampus, baik dosen, pegawai dan mahasiswanya, agar menjadi sinergisitas”, tutur Agung Fatmanto yang juga dosen pada Fakultas Sains dan Teknologi. Dalam seminar ini menghadirkan Ryan Fabella (Client Software Architec IBM), Pepita Gunawan (Indonesian Google Southeast Asia dan Agung Fatmanto, Ph.D. sebagai pembicara.
Dalam sambutannya Musa Asyarie menyampaikan bahwa, UIN Sunan Kalijaga akan senantiasa mengembangkan kampus menuju kampus digital, karena, dengan penerapan teknologi digital, semua akses informasi akan menjadi mudah. Perkembangan teknologi yang begitu pesat seharusnya kita manfaatkan dan direspons secara positif, jangan sampe dengan perkembangan itu kita malah menjadi keblinger. “ Saat ini kita sudah dikuasai oleh dunia ‘kotak’, karena sebagian besar alat teknologi yang kita gunakan berbentuk kotak, PC, Monitor, PC Tablet, HP, Laptop semuanya berbentuk kotak. Melihat hal ini, kita jangan sampai dikotak-kotakkan oleh barang ‘kotak’ ini. Karena dengan barang ‘kotak’ ini individualisme akan semakin meningkat, untuk itu filter dalam penggunaan teknologi di era digital ini sangat penting”, tutur Musa.
“ Dalam acara ini juga dihadiri oleh delegasi PTAIN se-Indonesia dan delegasi pusat komputer Perguruan Tinggi dan civitas Mahasiswa se-DIY ”, tambah Agung. *(Doni Tri W-Humas UIN Suka)


Bangunkan Mereka

Akhirnya, setelah seharian menempa otak yang telah lama tak terpakai ini cukup melelahkan. Susah-susah gampang tiap ucapan dosen diterjemahkan pikiranku yang tumpul dan harus mulai diasah kembali.
Aku langkahkan kaki keluar kelas dan aku rasakan hembusan angina segar alami melebihi dinginnya ruang kelasku yang berkipas. Langkahku gontai, darahku beranjak naik setelah seharian duduk di bangku kuliah. Ditambah kondisi tubuh yang agak lemah seharian menahan lapar karena puasa.
Aku tapak turuni tiap anak tangga satu persatu. Tiga, dua, satu, sampailah aku di lantai terbawah, lantai dasar. Ya, ruang kuliahku terletak tepat di lantai tertinggi Universitas ini, lantai empat. Seringkali aku keluhkan hal itu, namun aku coba untuk berhusnudzan kepada Allah, mungkin dengan letak kelasku yang tinggi ini aku akan dapatkan segala keinginan hati yang ingin menggapai cita-cita yang setinggi langit.
Terus berjalan kakiku ke tempat sepeda tuaku yang sejak tadi telah menunggu di tempat parker bersiap aku kayuh kembali pulang. Tapi sial, bannya kempes. Hah……. rasa kecewa segera menyelimuti fikiranku, segala prasangka aku arahkan pada anak-anak yang memang sering bermain di parkiran telah sengaja mengempeskan ban sepedaku. Namun, separuh diriku menepis segala prasangka buruk itu, mungkin Allah tengah benar-benar menguji kesabaranku.
Teras berat langkahku, ditambah beban sepedaku yang kempes bannya. Hmmm….. coba aku nikmati beban itu semua, aku nikmati pula matahari yang kian merendah bersiap kembali ke peraduannya, terlihat cantik, hingga sengatannya pun kini tinggal terasa hangat. Suara bising mobil, motor yang berlalu-lalang lengkap memenuhi ceritaku sore ini. Tak lupa ditambah lagi debu dan asap knalpot yang mengepul karena kemeriahan kemacetan jalanan kota ini. Kota yang tiap pagi dan sore bak karnaval menyambut hari kemerdekaan, lengkap dengan terompet-terompet klaksonnya. Hiruk pikuk khas perkotaan sungguh terasa begitu kental, didalamnya berjuta orang berbagai macam suku dan bangsa diaduk menjadi satu.
Terlihat beberapa orang tengah mempersiapkan bahan dagangan di pinggir jalan yang didomminasi para pedagang makanan dan minuman khas malam. Memang cukup banyak warung kecil yang berbaris berjejer menyertai panjangnya jalan trotoar. Mencari rezeqi memang takkan pernah mengenal waktu, ada sebagian masyarakat memang memperoleh nafkah pada saat-saat langit telah berubah menjadi warna hitam yang pekat.
Namun satu perhatian yang aneh melintas tergambar oleh lensa mataku, seorang yang sedang berkubang di tempat sampah bersama anaknya yang mungkin berumur hanya sekitar 5 tahunan. Satu pertanyaan yang kemudian tunbuh dalam benakku. Apakah yang dilakukan orang itu di tempat pembuangan sampah di hari yang menjelang malam ini? Apakah ia seorang pemulung? Bukan, ia tak membawa satupun barang-barang pulungan. Apakah ia seorang petugas kebersihan? Bukan, ia tak mengenakan seragam. Aku hentikan lajuku, tuk melihat pemandangan yang begitu aneh ini. Lama aku amati hingga mataharipun kini telah benar-benar jatuh di ujung barat.
Aku temangu melihat dua manusia yang mungkin tengah terpasung rasa lapar dan kini sedang mengais-ngais makanan-makanan sisa. Namun ironisnya, diatas sana, di singgasana tempat para pemegang amanat para rakyat, yang dahulu berkampanye mengumbar sumpah serapah, janji-janji manis, mungkin telah menghabiskan berkuintal gula untuk mempermanis bibir jongosnya, pastilah kini meteka sedang berpesta pora, menimbun bermilyar hak rakyat untuk memenuhi segala kebutuhan pribadinya, menari riang diatas segala kesengsaraan rakyat, segala macam merk mobil berjejer di rumah-rumah gedong mereka, berbagai macam pendapat usulan janji perbaikan tak lain tak bukan pastilah  mereka akan mulai membuka lagi lahan untuk berkorupsi ria, berfoya-foya dengan keringat rakyat yang telah menaruh harapan padanya.
Sungguh tak sadarkah mereka, yang dipilih bukan melalui lotre, mereka adalah wakil-wakil yang ditunjuk oleh rakyat sebagai perantara aspirasinya. Cerdiknya mereka, tidur saat pembahasan sidang berkaitan dengan masalah rakyat. Menutup telinga dan hati saat berjuta rakyat berteriak-teriak perjuangkan keadilah, dan begitu bersemangat saat ada kembali lahan tempat berkorup lagi.
*****
Sayup-sayup adzan maghrib berkumandang, menyadarkan alamku yang sedang melalang buana ke gedung DPR. Aku tetap termangu menatap dua manusia itu, yang kini duduk berkipas-kipas kecapaian. Aku datangilah mereka, aku coba tawarkan sebotol air yang aku bawa dari rumah tadi pagi bila hingga maghrib aku belum tiba. Deterimalah botolku itu dengan sesungging senyum yang terkembang disudut bibir kering ibu tua itu. Kemudian ia sodorkan botol minum itu pada anaknya, dengan segera anak itu meminumnya, tampak tergesa-gesa ia mulai menelan tiap tetes air yang keluar daru mulut botol itu. Huuuh….. betapa tersayatnya hati ini saat mengingat lagi ironi yang terjadi di negeri ini, yang katanya gemah ripah loh jinawi, namun setetes airpun sangatlah berharga bagi orang-orang semacam ibu anak ini, mereka bak seekor ayam yang mati ditengah lumbung padi, kelaparan di negeri yang subur kaya raya ini. Maka sungguh benarlah apa yang telah aku pelajari tiap hari di kampus, orang miskin dan terlantar dipelihara oleh Negara, iya, benar sekali, mereka tetap dipelihara kemiskinan dan keterlantarannya.
Aku teringat beberapa lembar uang ribuan yang aku siapkan utnuk berbuka hari ini. Sebagian hatiku telah setuju untuk memberikan uang itu untuk dua manusia terlantar ini, namun disisi lain, tangan kiriku berat mengulurkan sedikit kebaikannya, segala macam pikiran berkecamuk, bertentangan hingga sampai membuat kepalaku pening. Bila uang ini aku simpan, maka mungkin pahala yang aku dapat hanya bernilai satu kebaikan, tapi bila uang ini aku berikan, aku takut uang bulanan yang telah aku estimasikan menjadi kacau tak beraturan. Akhirnya kuputuskan untuk membeli dua bungkus nasi ukuran kecil, lengkap dengan dua gorengannya. Ya, memang itulah uang harianku sebagai mahasiswa yang boleh dibilang juga kurang mampu dan sangat begitu beruntung dapat kuliah di Universitas yang termasuk favorit. Hanya itulah yang dapat aku berikan pada mereka. Sempat si ibu menolak pemberianku itu, dengan berucap, “kamu nanti makan apa kalau ini kamu berikan kepada ibu ?”, dengan tersenyum aku menjawab, “ini memang rizqi buat ibu hari ini, insya Allah, Allah telah menyiapkan rizqi yang lain bagi saya”, lantas dibalasnya, “terimakasih nak ya !!” aku tersenyum kembali sembari menganggukkan kepala. Ku lihat adik kecil itu makan dengan lahapnya, hingga bersih hanya tertinggal bungkus kertasnya. Lanjutnya, ia meminum sisa air yang masih tersisa seperempat di botol minum tadi.
Basa-basi aku bertanya pada ibu itu, “ibu tinggal dimana ?”
“ibu tidak punya rumah nak, ya…. di jalanan inilah rumah ibu”
“emmm……”
Tak kuasa lagi aku ajukan pertanyaan, aku takut air mataku nanti akan tertumpah, dan membuat ibu itu nanti malah terjerembab dalam tangis haru yang membiru.
Akupun bangkit dari posisi dudukku ingin berpamitan pulang. “bu, saya mohon pamit dulu, semoga esok hari saya bisa bertemu ibu dan adek lagi”
“iya, terimakasih sekali lagi ya nak”
“iya bu, sama-sama, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam”
Tibalah aku tepat di depan pintu kost paling murah yang ditunjukkan Allah padaku. Tak lupa aku lepas sepatu dan ranselku dan kuletakkan pada tempat yang layaknya pantas. Kubasuh kedua tangan dan kakiku yang penuh dengan debu jalanan. Dan kemudian kubasuh seluruh anggota badan rukun wudlu dengan air. Lalu aku siap berdiri diatas sajadah yang telah kubentangkan.
“Allahu akbar !”
Aku terbius dalam sujud akhir terpanjang, dan kuucap doa, “Ya Allah, bukalah pintu mata hati para pejabat yang menanggung beban amanat rakyat. Sadarkan mereka dari tidur panjang dalam gelapnya lembah kenistaan duniawi, Amiin.
Add caption